Kata orang hidup itu pilihan.
Artinya untuk hidup yang lebih baik, kita butuh pilihan yang terbaik. Untuk
mendapatkan pilihan terbaik, muncul berbagai kriteria, parameter, bahkan
standar untuk memilih sebuah pilihan. Karena kriteria, parameter, atau standar
tersebut hadir pertanyaan-pertanyaan saat kita ingin memilih. Contohnya saat di
SMA. Kita diminta untuk memilih pilihan yang menentukan kelangsungan hidup kita
kedepannya. “Mau kuliah dimana dik? Jurusan apa” atau “Mau ngambil jurusan apa
dik? Dimana?” muncul pertanyaan pertama nentuin jurusan dulu atau universitas
dulu? Disambut dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Selalu begitu, saat hendak
memilih, pertanyaan-pertanyaan muncul. Semakin besar pilihannya, semakin sulit
pertanyaan yang muncul. Bahkan terkadang pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak
terjawab atau dari seekian pertanyaan yang terjawab, kita tidak mengarah pada
satu penyelesaian masalah. Semua itu karena kita dipusingkan dengan soalan
‘memilih yang terbaik’.
Saat memilih prodi teknik fisika aku
tidak terlalu dipusingkan dengan pertanyaan-pertanyaan. Karena aku bukan orang
yang terlalu mempertimbangkan setiap keputusan. Aku tidak banyak menggunakan
parameter-parameter yang bisa digunakan dalam menentukan program studi. Prospek
kerja, mata kuliah, kemungkinan lulus berapa tahun. Semua tidak aku pikirkan.
Karena yang terpikir olehku hanya sesederhana ini : aku suka fisika, tapi kalau
itu berarti hanya memutar-mutar rumas aku tidak selera. Maka aku cari fisika
yang di’tikniki’in. Ketemu deh tu teknik fisika.
Hikmahnya aku jadi sadar, kalau
hidaup itu bukan cuma soal menentukan pilihan terbaik. Bukan hanya soalah
‘memilih yang terbaik’. Tapi juga bagaimana menjalani pilihan-pilihan yang kita
ambil meski itu bukan yang terbaik. Pesanku untuk kalian yang tidak menaruh
pilihan ini (baca : FT) di pilihan pertama, percayalah skenario Allah adalah
skenario terbaik. Meski bukan pilihan yang sangat kalian inginkan, tapi
jalanilah dan senangilah jalan baru ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar