Minggu, 22 Juni 2014

Satu Nyawa Berjuta Karya, Mahasiswa

   “Bakti kami untukmu Tuhan, Bangsa, dan Almamater, ” salam yang begitu nyaring diperdengarkan di Kampusku ini mengigatkanku akan gejolak semangat para pemuda, semangat milik Mahasiswa ’98 saat menggulingkan rezim Orde Baru, semangat para pemuda saat menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok untuk menyegerakan Proklamasi, juga semangat yang digelorakan Bung Tomo di Surabaya. Mungkin benar di negri ini sudah tidak ada lagi perang, tidak ada lagi rezim tirani. Namun semangat mahasiswa tidak akan pernah reda untuk mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya.

          Kenapa harus mahasiswa? Karena kita memiliki 3 potensi : hard skill, soft skill, dan idealisme. Dari ketiga potensi tersebut, Idealisme menjadi ciri utama mahasiswa. Ayah-ayah kita di parlemen, kementrian, dan pemerintahan memiliki hard skill dan soft skill yang memadai, tetapi sebagian dari mereka tidak memiliki idealisme. Kakak-kakak kita yang bekerja di multinational coorporate –yang tidak mempedulikan nasib bangsanya- memiliki hard skill dan soft skill yang lebih dari cukup, tapi idealisme? Contoh sederhananya ketika kita lulus dari kampus, mana yang kita pilih : bergabung dengan perusahaan asing dengan penghasilan 20-30 jt per bulan atau bergabung dengan dengan BUMN dengan gaji 4-7 juta per bulan. Atau mana yang kita pilih : produk asing dengan kualitas terbaik dan murah atau produk lokal dengan kualitas standar dan lebih mahal. Kata kuncinya adalah Idealisme. Mahasiswa = Idealisme. Maka saat mahasiswa negri ini telah menggadaikan idealismenya, tunggulah kehancuran negri. Kita sebagai mahasiwa haruslah menanamkan idealisme kuat di lubuk hati kita dan menjaganya hingga ajal menjemput kita.

         Pertanyaan terbesarnya adalah apa yang bisa kita lakukan untuk negri ini? Dimana peran kita? Apakah dengan demo? Atau bahkan kita perlu revolusi kedua untuk menyadarkan ayah-ayah kita? Mahasiswa di setiap era dibenturkan pada masalah-masalah yang hanya bisa deiselesaikan oleh mereka sendiri. Tahun-tahun kemerdekaan mahasiswa (pemuda) dihadapkan pada problem mengusir penjajah dari tanah nusantara. Pasca kemerdekaan, mereka berbondong-bondong menyelamatkan negri ini dari penjajahan kembali. Tahun orde baru, mereka diterkam oleh ganasnya rezim tiran yang mengekang kebebasan hidup. Saat ini, era reformasi, kita tidak lagi ditemukan dengan masalah-masalah yang sama. Masalah yang kita hadapi saat ini adalah ketidakmerataan kesejahteraan, isu-isu perpecahan antar iman, masalah-masalah integritas dan korupsi, dan masih banyak lagi. Masalah-masalah yang multidimensional ini tidak lagi dapat diselesaikan dengan perang, demo, revolusi. Tapi masalah ini akan selesai dengan mahasiswa sebagai turun langsung ke masyarakat dan mahasiswa sebagai orang yang punya keahlian khusus di bidangnya.


        Terakhir, jadilah mahasiswa itu. Mahasiswa yang tidak tinggal diam sengan kebobrokan bangsa ini. Jadilah mahasiswa yang memiliki nilai lebih dengan karya yang membanggakan bumi dan mengharum di langit. Ya jadilah mahasiswa seutuhnya, satu nyawa berjuta karya. Untuk kemerdekaan sesungguhnya.


ASEAN Community - Tantangan Eksistensi Bangsa di Asia Tenggara

2015 semakin dekat, siap ataupun tidak, kita harus menghadapi ASEAN Community yang akan dimulai tahun itu. Kesepakatan multilateral antar negara se-asia tenggara itu bagaikan dua mata pisau bagi bangsa ini. Di satu sisi peluang untuk memajukan bangsa lebih terbuka lebar. Namun, peluang untuk menjadi negara yang semakin dilupakan juga menghadang ketika kita tidak siap menghadapi hal ini.

Awalnya kesepakatan ini dibuat untuk mencapai tujuan yang sangat mulia, memajukan asia tenggara. Kita gak mau dong, ketinggalan dengan Cina dan India.

Nah, untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan langkah-langkah konkrit yang harus dilakukan. Langkah pertamanya adalah 'peace' atau keamanan. Artinya sebelum menjadi suatu komunitas kita harus menjamin keamanan anggota-anggotanya terlebih dahulu. Jangan sampai ada sengketa antar anggota. Langkah berikutnya adalah 'posperity' atau kesejahteraan dimana setidaknya ketimpangan kesejahteraan diantara negara-negara ASEAN tidak terlalu besar. Langkah terakhir adalah 'people'. artinya semua kerjasama ini bergantung pada orang-orang yang berada di dalamnya.


Pertanyaan terbesarnya adalah siapkah bangsa ini menghadapi ASEAN Community?

Bergerak atau Mati

   Tahun 1978 mahasiswa kampus ini mampu membuktikan eksistensi dirinya melalui ‘ Buku Putih Perjuangan ’ yang sempat membuat rezim tirani Soeharto geram. Akibatnya kegiatan kemahasiswaan terpusat bernama “Dewan Mahasiswa” atau Dema dibubarkan. Bahkan kegiatan perkuliahan sempat di bekukan selama 6 bulan, dangan didudukinya kampus oleh ABRI . Hanya mahasiswa angkatan 78 yang diperbolehkan kuliah. Sama halnya dengan mahasiswa ITB pada tahun 98, mereka turut berpesan aktif dalam melengserkan Soeharto meski dengan gerakan mahasiswa ‘bawah tanah’.

       Lalu bagaimana dengan Mahasiswa ITB 2013? Gerakan apa yang kita lakukan? Apakah kita perlu menduduki gedung DPR lagi untuk kedua kalinya? Atau melengserkan presiden selanjutnya?
Jawabannya ada pada diri kita, Mahasiswa. Gerakan mahasiswa memiliki bentuk dan karakteristiknya di tiap zaman. Pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, Orde Baru, dan masa reformasi. Zaman reformasi kini, kita memiliki bentuk yang berbeda. Bukan waktunya lagi kita mengguncang pagar DPR dan meneriakkan kebebasan berpendapat, karena kita sudah bebas. Tidak tepat pula jika kita memaksa presiden untuk lenser dari jabatannya, karena ia juga akan lengser dangan sendirinya. Gerakan mahasiswa kita kini akan berdasarkan pada perubahan-perubahan kecil yang sukarela dikerjakan oleh semua elemen mahasiswa untuk masyarakat. Mungkin hanya kampanye kecil tentang kebersihan, atau sekedar berkeliling pawai meneriakkan ‘no smoking’. Bahkan bisa jadi hal-hal sepele lainnya yang kecil namun dilakukan uleh semua orang. 
      

     Jadi, bukan saatnya lagi untuk mempertanyakan identitas kita sebagai mahasiswa, ini saatnya untuk kita berubah, menjadi penggerak kemajuan peradaban bangsa ini. Menuju bangsa yang mendiri, adil dan sejahtera. Karena saat mahasiswa tidak mau bergerak, saat itulah indonesia kehilangan harapannya akan masa depan yang lebih baik. Pilihan mahasiswa hanya dua : bergerak atau mati!

Sebuah Pilihan, Sebuah Jalan

            Kata orang hidup itu pilihan. Artinya untuk hidup yang lebih baik, kita butuh pilihan yang terbaik. Untuk mendapatkan pilihan terbaik, muncul berbagai kriteria, parameter, bahkan standar untuk memilih sebuah pilihan. Karena kriteria, parameter, atau standar tersebut hadir pertanyaan-pertanyaan saat kita ingin memilih. Contohnya saat di SMA. Kita diminta untuk memilih pilihan yang menentukan kelangsungan hidup kita kedepannya. “Mau kuliah dimana dik? Jurusan apa” atau “Mau ngambil jurusan apa dik? Dimana?” muncul pertanyaan pertama nentuin jurusan dulu atau universitas dulu? Disambut dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Selalu begitu, saat hendak memilih, pertanyaan-pertanyaan muncul. Semakin besar pilihannya, semakin sulit pertanyaan yang muncul. Bahkan terkadang pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab atau dari seekian pertanyaan yang terjawab, kita tidak mengarah pada satu penyelesaian masalah. Semua itu karena kita dipusingkan dengan soalan ‘memilih yang terbaik’.

            Saat memilih prodi teknik fisika aku tidak terlalu dipusingkan dengan pertanyaan-pertanyaan. Karena aku bukan orang yang terlalu mempertimbangkan setiap keputusan. Aku tidak banyak menggunakan parameter-parameter yang bisa digunakan dalam menentukan program studi. Prospek kerja, mata kuliah, kemungkinan lulus berapa tahun. Semua tidak aku pikirkan. Karena yang terpikir olehku hanya sesederhana ini : aku suka fisika, tapi kalau itu berarti hanya memutar-mutar rumas aku tidak selera. Maka aku cari fisika yang di’tikniki’in. Ketemu deh tu teknik fisika.


            Hikmahnya aku jadi sadar, kalau hidaup itu bukan cuma soal menentukan pilihan terbaik. Bukan hanya soalah ‘memilih yang terbaik’. Tapi juga bagaimana menjalani pilihan-pilihan yang kita ambil meski itu bukan yang terbaik. Pesanku untuk kalian yang tidak menaruh pilihan ini (baca : FT) di pilihan pertama, percayalah skenario Allah adalah skenario terbaik. Meski bukan pilihan yang sangat kalian inginkan, tapi jalanilah dan senangilah jalan baru ini.

Tahun Pertama

Langkah pertamaku di kamppus ini adalah langkah terindah. Langkah yang konyol, bodoh dan serampangan. Tapi bukan berarti tanpa makna. Karena setiap peristiwa punya pesan yang untuk disampaikan. Pesan terindah dari Sang Pencipta untuk hamba tercinta-Nya. Terkadang ia hadir dalam semerbak aroma kebahagiaan, tak jarang pula dalam kesedihan dan putus asa. Tapi tak mengapa. Karena yang terpenting adalah sikap kita. Sikap yang tak kenal lelah untuk belajar. Entah apapun itu yang menghadang kita siap untuk melaluinya. Jika itu gunung, maka itu tak cukup tinggi untuk pembelajar. Jika itu laut, maka laut manapun tidak cukup dalam baginya. Walau sesulit apapun, tak jadi masalah.

Tahun pertamaku aku lalui dalam canda. Tapi terkadang rasa sesal juga menyapa. Lalu kata ‘seandainya’ sering mengapung di kepalaku menggantikan kata ‘kuat dan semangat’. Ya, itulah penyesalan. Penyesalan pertamaku hadir saat aku ‘menolak’ beasiswa kuliah di luar negri dengan tidak hadir tes wawancara. Waktu itu yang terlintas hanyalah, “ya sidahlah kan udah dapet ITB.” Lalu penyesalan itu hadir ketika mereka satu persatu lolos beasiswa tersebut dan berangkat ke luar negri.  Akupun mencari pembenaran. Sayangnya, setiap pembenaran yang muncul hanya akan bertahan paling lama satu minggu. Masalah bertambah, dan hadir penyesalan-penyesalan baru : gak belajar serius, kurang PeDe, setengah-setengah, dan sederet permasalahan lain yang belum terselesaikan.


Lalu di akhir tahun ini aku mendapat jawabnya. Bukan pembenaran yang aku butuhkan untuk membuatku ikhlas menerima setiap takdir yang diberikannya. Tapi sifat percaya. Percaya bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan sesuai kemampuan hambanya. Percaya bahwa skenario-Nya adalah skenario terbaik untukku. Percaya bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Percaya pada Allah.