Senin, 24 November 2014

Merah-Putih

 "Dari Tsauban radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِي الْأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا وَأُعْطِيتُ الْكَنْزَيْنِ الْأَحْمَرَ وَالْأَبْيَضَ


“Sesungguhnya Allah menggulung bumi untukku sehingga aku bisa melihat timur dan baratnya. Dan sesungguhnya kekuasaan ummatku akan mencapai apa yang telah dinampakkan untukku. Aku diberi dua harta simpanan: Merah dan putih. 

Mencari Wajah Baru Kaderisasi

Senin, 24 November 2014
  
Kaderisasi telah menjadi bagian penting kampus ITB. Ia adalah detak jantung yang memompa semangat kemahasiswaan di seantero ganesha. Ia adalah sepotong episode perjuangan kampus ini. Wajar ketika bahasan mengenai kaderisasi semestinya menjadi topik hangat yang terus dikaji dan dipertanyakan.
                Kaderisasi terus berkembang selajan dengan zaman yang terus bergulir. Di ITB sendiri sejarah kaderisasi bermula dari politik etis yang diterapkan koloni untuk memberikan pribumi pendidikan di THS. Koloni belanda yang juga belajar di THS tidak terima ketika disamakan dengan pribumi, akhirnya dibuatlah mekanisme ‘perpeloncoan’ yang bisa dibilang awal mula kaderisasi di ITB. Hal ini berlanjut dengan mengakarnya budaya kadirisasi di kampus ganesha. Bisa dibilang pada kurun waktu tersebut kaderisasi berupa ‘perpeloncoan’ dipakai untuk penyamarataan pribumi-kolonial.
                Zaman pun bergulir dan kaderisasi mulai menemukan wajah barunya. Tahun 1977 Mahasiswa diwakilkan oleh DeMa (Dewan Mahasiswa) ITB  menolak pengangkatan Soeharto menjadi presiden kembali oleh MPR. Akhirnya tulisan “Kami Mahasiswa Menolak Pencalonan Soeharto Sebagai Presiden Republik Indonesia” di depan ITB memaksa Soeharto menurunkan pasukan untuk menyerbu ITB. Puncaknya di tahun tersebut, ITB diserbu pasukan seroja atas perintah Soeharto dan pemimpin-pemimpin kampus seperti Heri Akhmadi (Ketua DeMa) dan Rizal Ramli (Caretaker Ketua DeMa) dipenjara. Satu tahun ITB dikuasai militer dan kegiatan belajar-mengajar dihentikan, mahasiswa dijemur dan disuruh push-up dan sit-up berantai di lapangan basket. Akhirnya setelah masa-masa sakit terlewati. Untuk normalisasi kampus Soeharto menerapkan strategi pengawasan melalui badan koordinasi kegiatan kampus NKK/BKK yang membatasi kegiatan masiswa. Untuk itu mahasiswa yang memiliki otak cerdas dan pemikiran yang matang, demokratis, ilmiah harus dibekali dengan kekuatan mental dan fisik serta memiliki kesetiakawanan, kekompakan, kebersamaan, solidaritas dan militansi untuk memperjuangkan kebenaran. Akhirnya dipilihlan kekompakan dan militansi pasukan NAZI jerman serta kritisisme, militansi dan kebersamaan kaum Komunis sebagai dasar pembentukan pribadi mahasiswa. Namun tidak melupakan dasar kebangsaan Indonesia yang nasonalis. Ramuan ini merupakan bahan kaderisasi yang akan digunakan untuk menyiapkan mahasiswa-mahasiswa agar "matang'" dalam menghadapi Soeharto beserta pasukan-pasukannya. Materi kaderisasi model ini ditanamkan dalam OSPEK-OSPEK di ITB. Singkatnya pada waktu itu mental, fisik, dan kekompakan ditetapkan sebagai satu tujuan utama kaderisasi untuk merobohkan hagemoni tiran Soeharto.

                Hari ini Senin, 24 November 2014 zaman pun telah berubah. Dan sekali lagi kaderisasi mulai mencari wajah barunya kembali untuk menjawab tantangan baru yang dihadapkan di depan gerbang kemahasiswaan. Tantangan baru itu berupa persaingan antar bangsa berupa AEC yang sudah di depan mata. Dengan adanya AEC kaderisasi mulai dituntut untuk lebih berkonsentrasi pada penguatan sektor penunjang keprofesian. Selain itu untuk menjawab tantangan lainnya berupa kemiskinan dan kondisi masyarakat Indonesia menengah ke bawah, kaderisasi juga dituntut untuk juga berkonsentrasi pada kontribusi real di kehidupan masyarakat. Sayangnya belum ada bentuk konkrit hingga ke tataran teknis pelaksanaan yang dapat menjembatani kedua tujuan mulia kaderisasi wajah baru ini. 

Minggu, 22 Juni 2014

Satu Nyawa Berjuta Karya, Mahasiswa

   “Bakti kami untukmu Tuhan, Bangsa, dan Almamater, ” salam yang begitu nyaring diperdengarkan di Kampusku ini mengigatkanku akan gejolak semangat para pemuda, semangat milik Mahasiswa ’98 saat menggulingkan rezim Orde Baru, semangat para pemuda saat menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok untuk menyegerakan Proklamasi, juga semangat yang digelorakan Bung Tomo di Surabaya. Mungkin benar di negri ini sudah tidak ada lagi perang, tidak ada lagi rezim tirani. Namun semangat mahasiswa tidak akan pernah reda untuk mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya.

          Kenapa harus mahasiswa? Karena kita memiliki 3 potensi : hard skill, soft skill, dan idealisme. Dari ketiga potensi tersebut, Idealisme menjadi ciri utama mahasiswa. Ayah-ayah kita di parlemen, kementrian, dan pemerintahan memiliki hard skill dan soft skill yang memadai, tetapi sebagian dari mereka tidak memiliki idealisme. Kakak-kakak kita yang bekerja di multinational coorporate –yang tidak mempedulikan nasib bangsanya- memiliki hard skill dan soft skill yang lebih dari cukup, tapi idealisme? Contoh sederhananya ketika kita lulus dari kampus, mana yang kita pilih : bergabung dengan perusahaan asing dengan penghasilan 20-30 jt per bulan atau bergabung dengan dengan BUMN dengan gaji 4-7 juta per bulan. Atau mana yang kita pilih : produk asing dengan kualitas terbaik dan murah atau produk lokal dengan kualitas standar dan lebih mahal. Kata kuncinya adalah Idealisme. Mahasiswa = Idealisme. Maka saat mahasiswa negri ini telah menggadaikan idealismenya, tunggulah kehancuran negri. Kita sebagai mahasiwa haruslah menanamkan idealisme kuat di lubuk hati kita dan menjaganya hingga ajal menjemput kita.

         Pertanyaan terbesarnya adalah apa yang bisa kita lakukan untuk negri ini? Dimana peran kita? Apakah dengan demo? Atau bahkan kita perlu revolusi kedua untuk menyadarkan ayah-ayah kita? Mahasiswa di setiap era dibenturkan pada masalah-masalah yang hanya bisa deiselesaikan oleh mereka sendiri. Tahun-tahun kemerdekaan mahasiswa (pemuda) dihadapkan pada problem mengusir penjajah dari tanah nusantara. Pasca kemerdekaan, mereka berbondong-bondong menyelamatkan negri ini dari penjajahan kembali. Tahun orde baru, mereka diterkam oleh ganasnya rezim tiran yang mengekang kebebasan hidup. Saat ini, era reformasi, kita tidak lagi ditemukan dengan masalah-masalah yang sama. Masalah yang kita hadapi saat ini adalah ketidakmerataan kesejahteraan, isu-isu perpecahan antar iman, masalah-masalah integritas dan korupsi, dan masih banyak lagi. Masalah-masalah yang multidimensional ini tidak lagi dapat diselesaikan dengan perang, demo, revolusi. Tapi masalah ini akan selesai dengan mahasiswa sebagai turun langsung ke masyarakat dan mahasiswa sebagai orang yang punya keahlian khusus di bidangnya.


        Terakhir, jadilah mahasiswa itu. Mahasiswa yang tidak tinggal diam sengan kebobrokan bangsa ini. Jadilah mahasiswa yang memiliki nilai lebih dengan karya yang membanggakan bumi dan mengharum di langit. Ya jadilah mahasiswa seutuhnya, satu nyawa berjuta karya. Untuk kemerdekaan sesungguhnya.


ASEAN Community - Tantangan Eksistensi Bangsa di Asia Tenggara

2015 semakin dekat, siap ataupun tidak, kita harus menghadapi ASEAN Community yang akan dimulai tahun itu. Kesepakatan multilateral antar negara se-asia tenggara itu bagaikan dua mata pisau bagi bangsa ini. Di satu sisi peluang untuk memajukan bangsa lebih terbuka lebar. Namun, peluang untuk menjadi negara yang semakin dilupakan juga menghadang ketika kita tidak siap menghadapi hal ini.

Awalnya kesepakatan ini dibuat untuk mencapai tujuan yang sangat mulia, memajukan asia tenggara. Kita gak mau dong, ketinggalan dengan Cina dan India.

Nah, untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan langkah-langkah konkrit yang harus dilakukan. Langkah pertamanya adalah 'peace' atau keamanan. Artinya sebelum menjadi suatu komunitas kita harus menjamin keamanan anggota-anggotanya terlebih dahulu. Jangan sampai ada sengketa antar anggota. Langkah berikutnya adalah 'posperity' atau kesejahteraan dimana setidaknya ketimpangan kesejahteraan diantara negara-negara ASEAN tidak terlalu besar. Langkah terakhir adalah 'people'. artinya semua kerjasama ini bergantung pada orang-orang yang berada di dalamnya.


Pertanyaan terbesarnya adalah siapkah bangsa ini menghadapi ASEAN Community?

Bergerak atau Mati

   Tahun 1978 mahasiswa kampus ini mampu membuktikan eksistensi dirinya melalui ‘ Buku Putih Perjuangan ’ yang sempat membuat rezim tirani Soeharto geram. Akibatnya kegiatan kemahasiswaan terpusat bernama “Dewan Mahasiswa” atau Dema dibubarkan. Bahkan kegiatan perkuliahan sempat di bekukan selama 6 bulan, dangan didudukinya kampus oleh ABRI . Hanya mahasiswa angkatan 78 yang diperbolehkan kuliah. Sama halnya dengan mahasiswa ITB pada tahun 98, mereka turut berpesan aktif dalam melengserkan Soeharto meski dengan gerakan mahasiswa ‘bawah tanah’.

       Lalu bagaimana dengan Mahasiswa ITB 2013? Gerakan apa yang kita lakukan? Apakah kita perlu menduduki gedung DPR lagi untuk kedua kalinya? Atau melengserkan presiden selanjutnya?
Jawabannya ada pada diri kita, Mahasiswa. Gerakan mahasiswa memiliki bentuk dan karakteristiknya di tiap zaman. Pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, Orde Baru, dan masa reformasi. Zaman reformasi kini, kita memiliki bentuk yang berbeda. Bukan waktunya lagi kita mengguncang pagar DPR dan meneriakkan kebebasan berpendapat, karena kita sudah bebas. Tidak tepat pula jika kita memaksa presiden untuk lenser dari jabatannya, karena ia juga akan lengser dangan sendirinya. Gerakan mahasiswa kita kini akan berdasarkan pada perubahan-perubahan kecil yang sukarela dikerjakan oleh semua elemen mahasiswa untuk masyarakat. Mungkin hanya kampanye kecil tentang kebersihan, atau sekedar berkeliling pawai meneriakkan ‘no smoking’. Bahkan bisa jadi hal-hal sepele lainnya yang kecil namun dilakukan uleh semua orang. 
      

     Jadi, bukan saatnya lagi untuk mempertanyakan identitas kita sebagai mahasiswa, ini saatnya untuk kita berubah, menjadi penggerak kemajuan peradaban bangsa ini. Menuju bangsa yang mendiri, adil dan sejahtera. Karena saat mahasiswa tidak mau bergerak, saat itulah indonesia kehilangan harapannya akan masa depan yang lebih baik. Pilihan mahasiswa hanya dua : bergerak atau mati!

Sebuah Pilihan, Sebuah Jalan

            Kata orang hidup itu pilihan. Artinya untuk hidup yang lebih baik, kita butuh pilihan yang terbaik. Untuk mendapatkan pilihan terbaik, muncul berbagai kriteria, parameter, bahkan standar untuk memilih sebuah pilihan. Karena kriteria, parameter, atau standar tersebut hadir pertanyaan-pertanyaan saat kita ingin memilih. Contohnya saat di SMA. Kita diminta untuk memilih pilihan yang menentukan kelangsungan hidup kita kedepannya. “Mau kuliah dimana dik? Jurusan apa” atau “Mau ngambil jurusan apa dik? Dimana?” muncul pertanyaan pertama nentuin jurusan dulu atau universitas dulu? Disambut dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Selalu begitu, saat hendak memilih, pertanyaan-pertanyaan muncul. Semakin besar pilihannya, semakin sulit pertanyaan yang muncul. Bahkan terkadang pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab atau dari seekian pertanyaan yang terjawab, kita tidak mengarah pada satu penyelesaian masalah. Semua itu karena kita dipusingkan dengan soalan ‘memilih yang terbaik’.

            Saat memilih prodi teknik fisika aku tidak terlalu dipusingkan dengan pertanyaan-pertanyaan. Karena aku bukan orang yang terlalu mempertimbangkan setiap keputusan. Aku tidak banyak menggunakan parameter-parameter yang bisa digunakan dalam menentukan program studi. Prospek kerja, mata kuliah, kemungkinan lulus berapa tahun. Semua tidak aku pikirkan. Karena yang terpikir olehku hanya sesederhana ini : aku suka fisika, tapi kalau itu berarti hanya memutar-mutar rumas aku tidak selera. Maka aku cari fisika yang di’tikniki’in. Ketemu deh tu teknik fisika.


            Hikmahnya aku jadi sadar, kalau hidaup itu bukan cuma soal menentukan pilihan terbaik. Bukan hanya soalah ‘memilih yang terbaik’. Tapi juga bagaimana menjalani pilihan-pilihan yang kita ambil meski itu bukan yang terbaik. Pesanku untuk kalian yang tidak menaruh pilihan ini (baca : FT) di pilihan pertama, percayalah skenario Allah adalah skenario terbaik. Meski bukan pilihan yang sangat kalian inginkan, tapi jalanilah dan senangilah jalan baru ini.

Tahun Pertama

Langkah pertamaku di kamppus ini adalah langkah terindah. Langkah yang konyol, bodoh dan serampangan. Tapi bukan berarti tanpa makna. Karena setiap peristiwa punya pesan yang untuk disampaikan. Pesan terindah dari Sang Pencipta untuk hamba tercinta-Nya. Terkadang ia hadir dalam semerbak aroma kebahagiaan, tak jarang pula dalam kesedihan dan putus asa. Tapi tak mengapa. Karena yang terpenting adalah sikap kita. Sikap yang tak kenal lelah untuk belajar. Entah apapun itu yang menghadang kita siap untuk melaluinya. Jika itu gunung, maka itu tak cukup tinggi untuk pembelajar. Jika itu laut, maka laut manapun tidak cukup dalam baginya. Walau sesulit apapun, tak jadi masalah.

Tahun pertamaku aku lalui dalam canda. Tapi terkadang rasa sesal juga menyapa. Lalu kata ‘seandainya’ sering mengapung di kepalaku menggantikan kata ‘kuat dan semangat’. Ya, itulah penyesalan. Penyesalan pertamaku hadir saat aku ‘menolak’ beasiswa kuliah di luar negri dengan tidak hadir tes wawancara. Waktu itu yang terlintas hanyalah, “ya sidahlah kan udah dapet ITB.” Lalu penyesalan itu hadir ketika mereka satu persatu lolos beasiswa tersebut dan berangkat ke luar negri.  Akupun mencari pembenaran. Sayangnya, setiap pembenaran yang muncul hanya akan bertahan paling lama satu minggu. Masalah bertambah, dan hadir penyesalan-penyesalan baru : gak belajar serius, kurang PeDe, setengah-setengah, dan sederet permasalahan lain yang belum terselesaikan.


Lalu di akhir tahun ini aku mendapat jawabnya. Bukan pembenaran yang aku butuhkan untuk membuatku ikhlas menerima setiap takdir yang diberikannya. Tapi sifat percaya. Percaya bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan sesuai kemampuan hambanya. Percaya bahwa skenario-Nya adalah skenario terbaik untukku. Percaya bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Percaya pada Allah.

Jumat, 16 Mei 2014

Saat Kita Saling Percaya

Seminggu yang lalu aku yang lugu terkecoh oleh tipuan picisan abang-abang pinggir jalan. waktu itu, malam hari sekitar jam 9. Setengah hati aku berjalan pulang dari kampus ke asramaku di Sangkuriang. Lalu, didepan pom bensin dago ada abang-abang minta tolong, katanya kehabisan duit gitu. Yaudah deh ak tolongin tuh abang-abang. e...singkat cerita habis aku pinjemin duit, si abang minta tukeran HP. Biar saling percaya gitu. 'Okelah, gk papa' pikirku. Habis sampai asrama aku baru sadar, betapa bodohnya aku tadi, mau-mau aja suruh tuker HP sama orang yang gak jelas asal usulnya. Ya udah deh, nasi telah menjadi bubur -walaupun bubur juga enak- aku ikhlasin aja tuh Hp buat si abang. Semoga aja gak digunain buat yang aneh-aneh.

Jujur aku menyesal setelah kejadian itu, bukan karena Hpku udah gk ada, justru yang kutakutin adalah sesama manusia gak saling percaya lagi. Paling ringan kita jadi pikir-pikir dulu sebelum ngasih orang, atau malah setelah jadi korban gak mau nolong orang sama sekali. Hilang deh kepercayaan sesama kita.

Aku jadi teringat kisah Abu Dzar Al-Ghifari dan seorang pembunuh yang siap dihukum mati.

Seorang pembunuh terlihat pasrah menyongsong hukuman mati yang akan menimpanya. Sebelum eksekusi, sang hakim bertanya kepada si terdakwa,
“Apakah permintaan terakhirmu?”
“Bila mungkin, aku mohon diijinkan pulang ke kampung selama 3 hari,” jawabnya dengan kepala tertunduk.
“Aku ingin pamit dan menyelesaikan amanah dan hutang yang aku pikul dengan beberapa orang,” lanjutnya.
Mendengar itu, sang hakim menarik nafas panjang dan berkata,
“Permintaanmu bisa kukabulkan, asal ada seseorang yang menjaminkan diri untukmu. Bila engkau tidak kembali, maka diri penjaminlah yang dihukum mati.”
Suasana menjadi sepi. Massa yang berkumpul di lapangan terdiam. Tidak ada seorang pun yang berani mengambil resiko tersebut.
Di tengah kebisuan, tiba-tiba maju seorang sahabat Nabi yang sangat terkenal. Ia adalah salah seorang sahabat yang dijamin masuk syurga. Abu Dzar Al-Ghifari. Ia rela menjadi penjamin si pembunuh.
Tiga hari telah berlalu. Batas akhireksekusi tinggal menunggu menit. Banyak khalayak mulai gelisah, bahkan menangis. Sebab Abu Dzar akan dieksekusi menggantikan si pembunuh.
Di tengah-tengah kekuatiran dan kesedihan tersebut, nampaklah sipembunuh dengan susah payah berlari-lari menuju tempat eksekusi.
“Maaf, aku terlambat, karena ada sedikit halangan halangan di jalan,” terangnya dengan nafas masih tersengal-sengal.
Mendengar itu, sang hakim sangat heran dan bertanya,
“Wahai terdakwa, mengapa engkau mau kembali lagi memenuhi hukumanmu?
Bukankah engkau dapat saja melarikan diri?”
“Pak Hakim, bisa saja saya melarikan diri dari hukuman ini. Namun bagaimana saya hendak lari dari hukuman Allah .” jawabnya dengan tegas.
“Yang tidak kalah pentingnya Pak Hakim, ini soal harga diri Islam dan seorang muslim. Saya tidak mau ada catatan sejarah bahwa pernah ada seorang muslim yang lari dari tanggungjawab serta mengkhianati kepercayaan orang yang telah menolongnya ,”
pungkas si pembunuh.
Belum hilang takjub sang hakim mendengar jawaban tersebut, terdengar suara dari perwakilan keluarga korban.
“Pak Hakim, tolong bebaskan si terdakwa ini. Kami telah memaafkannya,” pintamereka.
“Pak Hakim, ini soal harga diri Islam dan seorang muslim. Kami tidak ingin tercatat dalam sejarah, ada seorang muslim yang tidak memaafkan kesalahan saudaranya yang Muslim . Apalagi, dia membunuh bukan karena disengaja,” lanjut mereka.
Sang Hakim diam seribu bahasa diliputi rasa heran sekaligus haru. Ia pun kemudian memerintahkan untuk membebaskan si pembunuh. Namun sebelum sidang dibubarkan, sang hakim sempat bertanya kepada Abu Dzar.
“Wahai Abu Dzar, tolong jelaskan mengapa engkau berani mengorbankan diri untuk menjamin pembunuh ini?
Bukankah dia bukan keluargamu? Bahkan, dia tidak engkau kenal sama sekali?”
Dengan enggan Abu Dzar menjawab, “Pak hakim, ini soal harga diri Islam dan seorang Muslim. Aku tidak ingin ada catatan dalam sejarah, bahwa pernah suatu saat ada kejadian seorang muslim tidak mau menolong saudaranya yang sedang butuh pertolongan .”
Allahu Akbar..!!

https://www.facebook.com/FanpageDakwahIslam/posts/242275635871867 

Saat kita saling percaya, tak ada karang yang mampu mengahadang
Saat kita saling percaya, bukan hanya senyum yang terkembang, tapi canda dan kasih mesra
Saat kita saling percaya, padang mahsyar tak lagi terik oleh surya sejengkal
Saat kita saling percaya, saat itulah ridho Allah menyapa

Jumat, 07 Maret 2014

ISLAMIC SUPER STATE

Menurut riset kependudukan yang terstandar global, kebutuhan jumlah kelahiran rata-rata yang dibutuhkan dalam rentang waktu 25 tahun adalah 2,11 anak per keluarga. artinya jika tingkat kelahiran kurang dari 2,0 maka kebudayaan & peradaban disana akan mati. Faktanya, mari kita lihat tingkat kelahiran di Eropa. Prancis 1.8, Inggris 1.6, Yunani dan Jerman 1.3, Italia1.2, Spanyol 1.1.Tapi, saat ini statistik penduduk di Eropa meningkat secara signifikan, bukan dari angka kelahiran melainkan dari gerakan imigrasi arus bawah yang dilakukan umat islam yang berasal dari Afrika Utara. Jika di Prancis rata-rata kelahiran ada 1.8 anak per keluarga non-muslim, maka keluarga muslim memiliki 8.1 anak per keluarga.Sekarang di Prancis bangunan masjid menjamur menyaingi gereja dan sebanyak 30% anak di bawah 20 tahun merupakan muslim. Di kota yang lebih besar seperti marseille, bahkan Paris jumlahnya naik hingga 45%. Sehingga, diprediksi pada tahun 2027, 1 dari 5 orang Prancis adalah muslim, dan dalam 39 tahun ke depan Prancis akan menjadi republik islam terbesar di Eropa Barat. Hal yang sama terjadi di Inggris, Belanda, Rusia. Bahkan pemerintah Belgia menyatakan 1/3 dari anak yang lahir di Eropa adalah muslim hanya dalam 1 dekade ke depan.

Pemimpin Libya, Muammar Qadafi menyatakan, “Allah telah memberikan tanda kebangkitan islam di Eropa tanpa pedang, tanpa senjata apapun dan tanpa penaklukan. Saat ini lebih dari 52 juta muslim Eropa akan membalikkan angka populasi yang bertahan di sana selama berabad-abad dan dikuasai umat kristen, dan menjadikan seluruh daratan Eropa menjadi kawasan super islam atau IslamicSuper State.” allah telah memberikan bukti yang nyata tentang kebangkitan muslim di Eropa dan Amerika, serta penyatupaduan gerakan islam dalam konferansi khalifah.


Namun, sudah barang tentu yahudi laknatullah tidak akan tinggal diam. BANGUNLAH, bangun dan buka mata kamu, karena jika kamu, tertidur kamu tidak akan melihat apa-apa.

Menapaki Sejarah Bangsa

Merupakan hal yang sulit bagi Indonesia sebagai negri sejuta umat untuk bisa bersatu hingga seperti sekarang. Agaknya kita perlu belajar bagaimana nenek moyang kita bisa melakukan hal sedahsyat ini. bayangin kalo ada lebih dari 50 aja kelompok dengan pemahaman dan pola pikir yang 100 % beda di satu wilayah yang sama, gimana mereka bisa bersatu? nah, uniknya Indonesia bisa melakukannya
.
“BERSATU DALAM PERBEDAAN” adalah satu hal yang dipegang oleh negri inisebagai landasan hidup bersama. Di saat negara lain memulai kehidupan berbangsanya dengan menjajah, berperang, dan menghancurkan kaum minoritas, indonesia justru menjaga perbedaan yang ada. pertanyaannya adalah bagaimana?

indonesia awalnya hanyalah kepulauan yang didalamnya banyak kerajaan-kerajaan dengan batas wilayah tertentu, adakah peperangan? tentu. hingga Islam hadir ke indonesia melalui peran pedagang-pedagang timur tengah. Islam memang tidak memilki organisasi khusus dakwah. namun karena ajaran islam mengajarkan untuk menyampaikan ajaran islam walau satu ayat, islam dengan cepat meyebar ke pelosok nusantara.Apa hubungannya? dalam islam diajarkan untuk bersatu dansaling menghargai, jangankan perbedaan suku pebedaan agama pun tetap dihargai dalam islam.

Tahun 1907 SDI (Sarekat Dagang Islam) dibentuk, ini merupakan titik awal bekembangnya nasionalisme di indonesia. meskipun merupakan organisasi dagang, peran SDI tidak dapat dianggap remeh. Kenapa? karena :

1. Bahasa yang digunakan dan disepakati sebagai bahasa nasional dalam sumpah pemuda adalah bahasa yang digunakan oleh SDI sebagai bahasa pasar, sehingga familiar di telinga orang.

2. SDI merupakan organisasi yang mengenalkan kata nasionalisme. saat itu Budi Utomo justru menbahas masalah-masalah kedaerahan (jawa) dan tidak berpikir tentang kepentingan nasional. dari sini kita bisa tau sebenarnya nasionalisme bersumber dari Islam, maka aneh jika nasionalisme dipisahkan dengan agama, terutama agama islam.

3. SDI merupakan organisasi yang menentang penjajah, disaat Budi Utomo justru mengajak rakyat untuk patuh pada penjajah karena dengan kepatuhan rakyat akan menguntungkan pihak Budi Utomo yang rata-rata adalah orang-orang keraton.

4. Jika dibandingkan Budi Utomo jumlah aktivis dan anggota SDI jauh lebih banyak dan meliputipengusaha kaya hingga rakyat-rakyat pedesaan.

nah, dari sini seharusnya kita mulai sadar jika kita ingin mengubah persepsi dunia tentang indonesia, kita harus mulai dari memperbaiki agama kita. tidak peduli agama kita adalah islam, kristen, katholik, hindu budha, dll. karena pada dasarnya setiap agama membawa nilai budaya positif dalam ajarannya. meskipun nilai itu berbeda bagi tiap-tiap agama. Lalu barulah saatnya kita perbaiki kondisi 

perekonomian seperti yang dilakukan sarekat dagang islam, karena jika kita merdeka secara finansial maka kita juga kan merdeka secara pikiran. artinya kita sendiri yang menentukan kemanakaki kita berjalan, tanpa intervensi asing, tanpa utang luar negri, atau apapun itu. INDONESIA adalah NEGARA HEBAT.

Sumber : Pelajaran Sejarah Ust Rosnendya Yudha Wiguna, SMAIT Nur Hidayah