Sabtu, 18 Februari 2017

Kebebasan (tak) Bertanggung Jawab


Alkisah manusia bumi menemukan penemuan yang tanpa disangka telah mengubah pola hidup mereka sendiri. Bermula dari kebutuhan komunikasi jarak jauh untuk keperluan militer, ARPA menemukan ARPANet. Militer Amerika hari itu, dengan cakupan operasi yang luas memang menjadikan ARPANet sebagai alat bantu militer yang sangat efektif. Singkat cerita, 10 tahun kemudian ARPANet – yang kita kenal hari ini dengan internet – secara luas digunakan. Bukan lagi terbatas pada urusan militer, mulai saat itu internet digunakan oleh manusia untuk sarana komukasi jarak jauh.

Cerita ini pun berlanjut, di belahan bumi lainnya. Indonesia di bawah kepemimpinan ‘tangan besi’ Orde Baru, mulai geram dengan pemberitaan-pemberitaan media yang perlahan mengusik kursi kepemimpinannya. Demi ‘stabilitas negara’, akhirnya banyak media-media ditutup. Atas alasan yang sama pun orang-orang yang dicurigai mengganggu ‘stabilitas negara’ diculik dan hilang tanpa jejak. Itu adalah hari dimana kebebasan telah mati...

Tahun berganti, kebebasan yang ditekan bak mesin press dibuka pintunya selebar-lebarnya. Media pun mengganas, layaknya seekor macan keluar dari kandang. Mereka yang tidak bertanggung jawab mulai menyebarkan berita ‘pesanan’ yang sengaja menyesatkan publik. Banyak alasannya, paling dominan karena urusan politik. ‘Stabilitas negara’ era orde baru telah runtuh, berganti dengan Kebebasan yang kebablasan. Untuk mencegahnya dibuatlah Dewan Pers, sebuah organisasi profesi pers yang memastikan setiap insan pers menjaga etikanya dalam bermedia. Agar hilang dari negeri ini informasi sesat yang membutakan mata publik. Meski orang bilang masih belum efisien, setidaknya media-media ‘nakal’ bisa dikekang dan bahkan dibubarkan.

Tahun 2017. Kepemimpinan berganti, Indonesia yang mulai mengenal teknologi komunikasi perlahan mengubah pola interaksi antar manusianya. Rakyat hari ini tidak lagi suka memesan koran. Omset penjualan surat kabar mulai menurun secara peralahan. Mereka mulai beralih pada media elektronik yang lebih cepat dan gratis. Masalah baru akhirnya muncul. Kebebasan tidak lagi dapat dibendung. Di dunia maya, hukum dunia nyata tidak berlaku. Situs-situs bermuatan negatif susah dikendalikan terlebih jika disandingkan dengan jimat ‘Hak Asasi Manusia’. Berita-berita palsu –HOAX – beredar seperti semak belukar di pinggir lapangan. Pemerintah kebingungan...

“Pak kalau ada media online atau akun media sosial yang menyebarkan berita bohong gimana pak? Apakah tidak ada hukuman yang diterima si pelaku?” tanya seorang mahasiswa pada Budiono –Direktur Majalah GATRA. “Ya... itulah masalah yang kini di hadapi Amerika. Kalau berita itu disebarkan lewat koran atau majalah, gampang. Tutup saja lokasi penerbitnya. Tapi kalau web, satu diblokir muncul seribu lainnya. Apalagi medsos, atas dasar Hak Asasi Manusia semua orang menjadi kebal dipersalahkan. Belum lagi Amerika sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM, jelas tidak berkutik ketika HAM dijadikan benteng pelindung akun mereka. Mereka hari ini bingung, apa yang harus ia lakukan...”jawabnya. “Pada akhirnya yang menjadi filter bagi media online adalah etika  dalam dirinya. Jika ia tidak memiliki etika maka selesai sudah. “ Lalu kelas berakhir...

Ngomongin apa sih...,,, intinya mah.


“Internet itu ujian kemerdekaan. Semua orang bebas meliat dan mengirim apapun. Semuanya hanya bertanggung jawab atas diri dan Tuhannya atas apa yang terlihat dan terucap di dunia maya. Ati-ati aja....”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar