Jumat, 19 Agustus 2016

NGGA FOKUS EUY

Belakangan setelah genap 6 semseter kehidupan saya di kampusnya Bapak Sukarno, baru mulai terasa kalau yang namanya kerjaan itu nggak bisa multitasking. Nggak kaya laptop yang bisa download film sambil main game tambah ngopi file kuliah. Jadi kalau ada orang yang bilang, " aku nggak bisa multitasking euy, da aku ma orangnya cuma bisa fokus di satu kerjaan aja, " maka sebenarnya hal ini terjadi di semua orang di muka bumi ini. (ini hasil perenungan aja ya - jangan tanya datanya dari mana). Bisa jadi yang demikian itulah sunnatullah-nya. Emang dari pabriknya sana seperti itu. 
Mungkin ayat ini yang mewakili perkataan Allah kalau manusia itu harus fokus mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya satu per satu. Gambarannya sama kaya shalat, saat shalat perhatian hanya tertuju pada bacaan yang kita baca, tugas kuliah, janjian sama temen, ujian kompre ditinggalkan dulu hingga selesai dengan shalat kita. 

Saya teringat dengan nasihat salah satu pembicara di -kalau tidak salah- diklat terpusat OSKM waktu zaman jadi mentor, "Kita nggak bisa bagi waktu, yang bisa kita lakukan adalah bagi fokus." Perbedaan mendasar antara keduanya adalah tentang konsentrasi, sebanyak apa pikiran yang kita bawa di suatu waktu yang telah kita bagi. Sering kali, banyak orang yang telah membagi waktunya, tapi tidak fokus dalam pekerjaan yang ia telah rencanakan. Misal, ngumpul sama temen-temen sambail pegang HP, belajar sambil buka medsos, atau di kelas pagi mikirin agenda rapat sore harinya. Akibatnya segala yang dilakukan tidak maksimal. Target-target tidak terpenuhi, pekerjaan seadanya mungkin jadi agenda yang biasa terjadi.

Cara termudah untuk memulai membiasakan fokus pada satu urusan adalah Bikin agenda harian. Sederhana maupun detail tidak jadi masalah, sesuaikan saja dengan preferensi pribadi. Agenda yang saya coba buat akhir-akhir ini hanya sesederhana rentang waktu dan jenis kegiatan. Persis seperti bikin rundown kalau mau ada acara-acara. Catatan pentingnya adalah pastikan di setiap range jamnya hanya ada satu pekerjaan, atau mungkin dua sampai tiga jika pekerjaannya terlalu ringan. Range jam pun bisa disesuaikan dengan keinginan masing-masing, beberapa membagi waktunya menjadi jam 7-9, 9-12, 13-15, 15-18, dst. Beberapa yang lain memilih menuliskan setiap jamnya. jam 6-7, 7-8, 8-9, dst. Sangat sederhana dan menarik untuk dicoba.

Orang bijak pernah bilang, "gagal merencanakan sama artinya dengan merencanakan kegagalan." So, kalau hari-hari kita biarkan saja berjalan tanpa perencanaan, hasilnya selalu tidak jelas perkembangan apa yang terjadi di hari itu. Kalau ada yang bilang, "hari ini go with the flow aja," hati-hati ya... karena menurut teori entropi di pelajaran fisika SMA, "sesuatu yang dibiarkan tanpa perlakuan apapun akan menuju pada katidakteraturan." Kalau mau teratur, silahkan bikin perencanaan dan fokus

Kamis, 28 Juli 2016

Mentor : The Caring Adult

"Dibalik kecemerlangan seseorang, selalu ada orang lain yang berdiri di sekitarnya dan memaksanya untuk menjadi lebih baik setiap harinya. itulah mentor"
- Lintasan Pikiran Mahasiswa Basa -

Beberapa waktu silam, publik sempat digemparkan dengan aksi kudeta militer turki atas Presiden Erdogan. Memang di terhitung sejak 2002, Erdogan telah menghabiskan setidaknya 14 tahun di puncak kekuasaan tempat kekhalifahan terakhir pernah berdiri itu. Meski banyak pihak yang pro-kontra dengan pemerintahannya, secara umum Erdogan terbilang berhasil mengelola negara tersebut. Di ranah ekonomi misalnya, Ia berhasil menaikkan pendapatan per kapita dari 3500 dollar/tahun menjadi 11.000 dollar/tahun. Dibalik sosok inilah terdapat sosok Sang Hoca, Necmetin Erbakan yang tidak lain adalah mentor dari Erdogan. Meski berselisih paham soal sikap politik, bisa dibilang perjuangan Erdogan adalah perpanjangan visi Sang Mentor. Begitu pula dengan Erbakan, gurunya -Said Nursi- juga memperjuangkan hal yang sama. Satu perjuangan turun-temurun inilah yang dihasilkan dari mentoring. Begitulah cara kerjanya, itulah mentor.

Cerita yang sama pun terjadi pada Menteri Penerangan kedua RI, Mohammad Natsir. Kecemerlangannya beradu kata dalam sastra bukan terlahir begitu saja. Ia ditanam, dipupuk, dan disemai dalam ketulusan gurun yang paling berpengaruh baginya : Ahmad Hassan. Ketulusan Ahmad Hassan selalu terlihat dalam pertemuan dengan murid tercintanya. Setiap kali Natsir datang ke rumah Ahmad Hassan, Sang Guru segera meninggalkan apapun yang ia kerjakan demi berdiskusi, bercakap dengan Natsir. Itulah mentor.

Belakangan metode mentoring pun cukup diminati di kalangan mahasiswa. Di ITB sendiri, unit kegiatan maupun himpunan yang memiliki mentor2 sudah terbilang banyak jumlahnya. Termasuk mentor OSKM, kaderisasi awal mahasiswa baru. Beberapa waktu lalu pun UI sempat berencana menggunakan metode serupa di agenda penerimaan mahasiswa barunya. Mahasiswa pada akhirnya merasakan, bahwa penurunan nilai luhur, pembentukan karakter sangat efektif dilakukan dengan mentoring. Sekali lagi, itulah mentor.

Begitulah sistem ini bekerja. Mentor bukan hanya menjadi guru dengan materi-materi yang harus disampaikan, Tapi juga menjadi teladan bagi peserta didiknya. Mungkin mentor lah sarana 'tempat bertanya yang harus ada jawabnya.' Tentu bukan soal mudah menjadi pribadi mentor yang baik, tapi memang seindah itu merasakan nikmatnya membina orang, mengubah bongkahan batu menjadi permata berkilauan.


Rabu, 27 Juli 2016

Refleksi : Sebuah Bayangan yang Jujur Akan Hadir dalam Cermin Ketulusan

Belakangan saya menyadari dalam episode hidup yang dikaruniakan Allah, banyak peluang-peluang yang Ia berikan dan tidak dapat saya maksimalkan. Kata orang karya besar itu muncul "When opportunity meets capability." I hanve many opportunity, but less capability.

"Istirahatnya di surga aja, lid" sederhana bener ungkapannya, tapi nyentuh banget. Sayapun mulai terbangun di tidur malam yang hening, mengurangi waktu bermesra dengan malam. Kembali merefleksikan 20 tahun yg telah dilalui dan memulai merajut kisah menjadi pribadi yang lebih baik.

Mungkin tulisan ini yang akan jadi saksi, ia akan mengatakan "kamu yang bilang hari ini kamu mau berubah." Karena layaknya kebanyakan orang, komitmen sering didengungkan tapi lupa adalah fitrah manusia. Suatu saat nanti aku akan menengok kembali tulisan sederhana ini, dan tertawa kecil karena menyadari perubahan besar itu terjadi setelah seseorang merasa gagal.

Entah kenapa saya cukup ingin menulis komitmen ini. Setelah membaca beberapa buku, berdiskusi, bergaul dengan mereka yang diatas langit. Saya memutuskan untuk melakukan beberapa hal yang mungkin cukup penting ketika seseorang hendak merubah dirinya. Ya, Menjadi Lebih Baik :

Pertama, Tentang Bagi Waktu. Sulit memang tapi "Gagal merencanakan artinya merencanakan kegagalan." bermula dari buka productivemuslim.com, saya mulai dengan membuat -dalam bahasa web tersebut- daily taskinator. Sederhananya semacam rencana agenda esok hari. saya tulis dari 5.00-24.00, karena tidur 5 jam sudah sangat lebih dari cukup. saya mulai menulis di setiap jamnya apa yg harus saya lakukan. Cukup - dan harus dicukupkan- satu kegiatan per jamnya. hasilnya terhitung di hari pertama 6 dari 19 kegitan tiap jam yang direncanakan berhasil, dan di hari berikutnya kebalikannya terjadi, 6 dari 19 rencana kegiatan tidak berhasil. Menarik sepertinya... dan saya berencana melakukannya tiap hari.

Kedua, Habbits. Memulai kebiasaan baik, atau membuang kebiasaan buruk sebenarnya bukan hal baru dalam proses perbaikan diri. Namun, beberapa waktu ini saya menemukan kesalahan fatal yang saya pribadi lakukan. Saya rasa banyak orang melakukan kesalahan yang sama dalam membangun habbits. Pertama, saya memulainya dengan sesuatu yang berat. misal : biasanya tidak rutin tilawah, tetiba ingin membiasakan tilawah 3 juz sehari. Kata Charles Duhig dalam Power of Habbits nya.. "kebiasaan itu akan berakhir ketika semangat berubah sudah padam." Maka mulailah dari kebisaan kecil, seperti kata Aa Gym. Kedua, saya memulainya dengan banyak habbits. Misal : setiap harinya saya ingin tilawah 1 juz, lari 10 menit, renang tiap 2 hari, puasa senin kamis, baca 1 buku /minggu, baca paper, and so on. Semua deretan itu akhirnya berakhir dengan tidak ada satupun yang membudaya.

Ketiga, Target dan Tujuan. Banyak metode, tools, atau buku yang membantu kita dalam menentukan tujuan dan tentunya merealisasikannya. Beberapa orang membuat daftar 100 keinginan lalu ditempel di tembok kamarnya, ada pula yang mengupayakan berbagi mimpi dengan teman-temannya. Tentu setiap orang boleh memilih caranya masing2. Saya sendiri akhirnya meilih untuk membuat rencana jangka pendek banget. Saya beri judul rencana itu "2 bulan peningkatan kapasitas diri" -memang bukan judul yg bagus- Tapi yang terjadi, setelah 1 bulan berlalu. setengah dari yang saya tulispun belum terlaksana. Akhirnya setelah dievaluasi, saya terlalu banyak menulis target. Ditambah dengan hampir semua target itu bukan seuatu yang biasa saya jalani. Maka saya ubah targetnya, dipotong sebagian dan mari kita lihat apa yang akan terjadi.

Pesan untuk pembaca : Saya minta maaf kalau tulisannya kurang enak dibaca - kebiasaan orang jawa, minta maaf sebelum dan sesudah apapun - ini juga bagian dari memulai kebiasaan menulis yg sudah direncanakan dari kapan tau. Jelek atau bagus yang penting nulis.

Selasa, 22 Maret 2016

Risalah Kemerdekaan Berpikir

Manusia secara fitrah diciptakan Allah sebagai makhluk yang merdeka, ia tidak tinggi karena keshalehannya seperti malaikat, ataupun rendah karena kesombongan seperti iblis laknatullah. Namun, ia tinggi karena kemerdekaan, kemampuan berpikir, interpretasi, dan menemukan kesimpulan yang dikaruniakan oleh Allah hanya kepada Adam AS dan anak cucunya. Dengan fitrah kemerdekaan ini manusia dapat memaknai kebenaran lebih baik dari malaikat. Di sisi lain kemerdekaan ini juga dapat membuatnya jauh lebih keblinger dari iblis. Dalam kesombongan yang membuat iblis dihinakan Allah dan mengharamkan surga bagi dirinya dan keturunannya, iblis masih mengakui bahwa Allah yang telah menciptakannya. Hari ini, dengan ‘kemerdekaan’ manusia, bahkan diantara mereka ada yang mengakui bahwa dirinya adalah tuhan.

Risalah kemerdekaan berfikir yang disenandungkan sejak ayah kita dikeluarkan dari surga selalu berupa pisau bermata dua. Saat ia menjelma menjadi kejernihan berpikir berdasarkan nafas ilahiyah, maka kebenaran hakiki menjadi buah segar nan manis yang siap dihidangkan. Namun, saat ia berubah menjadi keraguan, kecurigaan, dan kerendahan logika, ia tak ubahnya tumor yang menggerogoti keimanan. Sebut saja kernihan berfikir ini sebagai iman –bukan bermaksud memberi terminologi keimanan yang baru - dan lawannya adalah kesesatan.

Perang antara keimanan dan kesesatan yang telah terjadi dari sekian lama ini ternyata bersumber dari kemampuan berfikir manusia atau yang kita kenal dengan logika berfikir. Istilah logika sendiri berasal dari bahasa yunani (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa1. Namun sayang logika tanpa agama hanya mendatangkan kesengsaraan dalam pencarian kebenaran. Sebut saja teriakan Nietzsche dalam The Gay Science berkata,”Ketika kami mendengar ‘Tuhan tua itu telah mati’ maka para filosof dan ‘jiwa-jiwa yang bebas’ merasa seakan-akan fajar telah menyingsing menyinari mereka2 .”

Di barat manusia merdeka mencoba mengkritisi gereja dengan membombardir teolog dengan pertanyaan-pertanyaan yang oleh teolog sendiri tidak terjawab. Akhirnya manusia-manusia merdeka ini berkesimpulan ‘Tuhan telah mati’ atau kalaupun Ia belum mati maka mereka, manusia merdeka ini yang memiliki kewajiban untuk ‘membunuh Tuhan’. Karena menurut mereka tidak ada lagi supreme beig ataupun kekuatan absolut. Semuanya relatif, seperti fungsi tanpa nilai awal. Siapapun berhak menentukan nilai awalnya, dan sudah pasti hasil akhirnyapun akan menuju tempat yang berbeda meski dengan fungsi yang sama. Jika seseorang mengklaim sesuatu adalah benar, orang lain berhak menganggap sesuatu itu salah. Hingga sejarah pencarian ‘kebenaran’ di Barat mencapai suatu keputusan untuk ‘membunuh Tuhan’ dan menggantinya dengan Tuhan baru bernama logocentrisme atau rasionalisme3.Tak puas dengan Tuhan baru, mereka mengangkat Liberalisme. Gagasan yang ia bawa adalah tentang multiplicities, equal representation, dan total doubt.Gagasan ini membawa mereka menjadi sosok tanpa wajah, manusia tanpa jiwa, tidak ada parameter kebenaran selain manusia (relativisme).Inilah cerita risalah kemerdekaan berpikir menjadikan manusia lebih rendah derajatnya dari setan.

Disisi lain, risalah kemerdekaan berpikir pun pernah berbicara tentang kisah yang lain, cerita surgawi yang membuat nama pemerannya dicatat di langit, disejajarkan dengan kekuasaan dan keluasan arsy Allah. Khalilullah, begitulah Ibrahim disebut dalam firmannya. Gelar terpuji ini bukan menjadikan hidup ‘Bapak para Nabi’ ini semudah membalik telapak tangan. Justru kesulitan hidup, cobaan yang luar biasa berat telah membuat gelar ini cocok diberikan pada Ibrahim. Risalah ini bermula ketika Ibrahim yang telah beranjak dewasa mulai mempertanyakan kelakuan ummatnya yang menyembah patung. Sebuah benda tak bernyawa yang dibuat oleh ayahnya sendiri. Pikiran logisnya terusik dengan premis tak terhubung yang selalu disampaikan. Iapun bertanya-tanya, “ jika ia Tuhan, bagaimana ia bisa memberi makan kami? Makan sendiripun ia tidak bisa. Jika ia Tuhan, bagaimana ia bisa membuat manusia, binatang, tumbuhan ini hidup? Sedangkan ia sendiri mati.” Hingga Ibrahim berkesimpulan Patung bukan Tuhan. Lalu Ibrahim bertanya lagi, lantas siapa tuhan? Pertanyaan yang sama  yang disenandungkan oleh filosof-filosof beberapa abad yang lalu. Ibrahim melihat bintang, pikiran logisnya berkata bukan, sinarnya kalah dengan sinar rembulan. Atau mungkin bulan, tapi beberapa hari berselang bulan menghilang sebagian, sampai tidak terlihat sama sekali. Ah, mungkin Matahari, sinar terangnya menghiasi bumi membentuk spektrum keindahan tiada terdua. Tapi ia hanya hidup pagi hingga petang, ia bukan Tuhan... Lalu siapa Tuhan? Hingga akhirnya wahyu Allah hadir menjawab segala kegelisahan Ibrahim dan menghentikan langkahnya dalam pencarian Tuhan. Ya, inilah Tuhan satu-satunya dzat yang Maha Segalanya, supremasi tertinggi dari alam semesta, Dialah yang layak kusembah dan pada-Nya lah aku berserah diri.

Itulah fitrah manusia dan kemerdekaan berfikirnya. Beberapa kisah menceritakan keindahan nikmat yang diberikan Allah dengan kemerdekaan itu, beberapa yang lain mengisahkan sebaliknya. Hari ini, dua fenomena ini saling berhadapan satu sama lain, mencoba mencari jawaban kebenaran yang sesungguhnya. Setiap mata pisau merasa dirinya yang benar. Hingga akhirnya mereka bertemu dalam sebuah peperangan. Bukan peperangan fisik tentunya, tapi sebuah perang ide. Perang argumen yang bisa jadi membuat kebenaran tidak berbeda dari kebathilan. Itulah Ghazwul Fikr.

Perang ini sungguh dekat, bagai pedang yang telah siap menggorok leher dan memisahkan ruh dari kepompong manusianya.  Sayangnya banyak dari kita tidak sadar jika peperangan ini terjadi, hal ini karena sifat dari GF yang membuat orang yang sedang diperangi tidak merasa sedang dalam medan perang. Perang ini disuguhkan dengan sangat apik dengan bungkus buku, lagu-lagu, dan media. Ia tidak menimbulakn korban jiwa, tapi akibat darinya lebih parah. GF menjadikan korbannya pengikut yang turut menyebarkan virus GF ke manusia lain, seperti wabah cacar yang menyebar di seluruh kota.

Satu hal penting lainnya adalah dalam mewujudkan kemerdekaan berfikir kita tetap harus memiliki sudut pandang berdasarkan pemahaman islam yang telah diajarkan. Semoga kita tidak terjerumus dan kalah dalam menghadapi peperangan ide yang sedang terjadi.

1 )Wikipedia.org terjemahan bebas
2)Misykat. Hamid Fahmy Zarkasy. 2012. Hal 4
3) Misykat. Hamid Fahmy Zarkasy. 2012. Hal 4