Selasa, 22 Maret 2016

Risalah Kemerdekaan Berpikir

Manusia secara fitrah diciptakan Allah sebagai makhluk yang merdeka, ia tidak tinggi karena keshalehannya seperti malaikat, ataupun rendah karena kesombongan seperti iblis laknatullah. Namun, ia tinggi karena kemerdekaan, kemampuan berpikir, interpretasi, dan menemukan kesimpulan yang dikaruniakan oleh Allah hanya kepada Adam AS dan anak cucunya. Dengan fitrah kemerdekaan ini manusia dapat memaknai kebenaran lebih baik dari malaikat. Di sisi lain kemerdekaan ini juga dapat membuatnya jauh lebih keblinger dari iblis. Dalam kesombongan yang membuat iblis dihinakan Allah dan mengharamkan surga bagi dirinya dan keturunannya, iblis masih mengakui bahwa Allah yang telah menciptakannya. Hari ini, dengan ‘kemerdekaan’ manusia, bahkan diantara mereka ada yang mengakui bahwa dirinya adalah tuhan.

Risalah kemerdekaan berfikir yang disenandungkan sejak ayah kita dikeluarkan dari surga selalu berupa pisau bermata dua. Saat ia menjelma menjadi kejernihan berpikir berdasarkan nafas ilahiyah, maka kebenaran hakiki menjadi buah segar nan manis yang siap dihidangkan. Namun, saat ia berubah menjadi keraguan, kecurigaan, dan kerendahan logika, ia tak ubahnya tumor yang menggerogoti keimanan. Sebut saja kernihan berfikir ini sebagai iman –bukan bermaksud memberi terminologi keimanan yang baru - dan lawannya adalah kesesatan.

Perang antara keimanan dan kesesatan yang telah terjadi dari sekian lama ini ternyata bersumber dari kemampuan berfikir manusia atau yang kita kenal dengan logika berfikir. Istilah logika sendiri berasal dari bahasa yunani (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa1. Namun sayang logika tanpa agama hanya mendatangkan kesengsaraan dalam pencarian kebenaran. Sebut saja teriakan Nietzsche dalam The Gay Science berkata,”Ketika kami mendengar ‘Tuhan tua itu telah mati’ maka para filosof dan ‘jiwa-jiwa yang bebas’ merasa seakan-akan fajar telah menyingsing menyinari mereka2 .”

Di barat manusia merdeka mencoba mengkritisi gereja dengan membombardir teolog dengan pertanyaan-pertanyaan yang oleh teolog sendiri tidak terjawab. Akhirnya manusia-manusia merdeka ini berkesimpulan ‘Tuhan telah mati’ atau kalaupun Ia belum mati maka mereka, manusia merdeka ini yang memiliki kewajiban untuk ‘membunuh Tuhan’. Karena menurut mereka tidak ada lagi supreme beig ataupun kekuatan absolut. Semuanya relatif, seperti fungsi tanpa nilai awal. Siapapun berhak menentukan nilai awalnya, dan sudah pasti hasil akhirnyapun akan menuju tempat yang berbeda meski dengan fungsi yang sama. Jika seseorang mengklaim sesuatu adalah benar, orang lain berhak menganggap sesuatu itu salah. Hingga sejarah pencarian ‘kebenaran’ di Barat mencapai suatu keputusan untuk ‘membunuh Tuhan’ dan menggantinya dengan Tuhan baru bernama logocentrisme atau rasionalisme3.Tak puas dengan Tuhan baru, mereka mengangkat Liberalisme. Gagasan yang ia bawa adalah tentang multiplicities, equal representation, dan total doubt.Gagasan ini membawa mereka menjadi sosok tanpa wajah, manusia tanpa jiwa, tidak ada parameter kebenaran selain manusia (relativisme).Inilah cerita risalah kemerdekaan berpikir menjadikan manusia lebih rendah derajatnya dari setan.

Disisi lain, risalah kemerdekaan berpikir pun pernah berbicara tentang kisah yang lain, cerita surgawi yang membuat nama pemerannya dicatat di langit, disejajarkan dengan kekuasaan dan keluasan arsy Allah. Khalilullah, begitulah Ibrahim disebut dalam firmannya. Gelar terpuji ini bukan menjadikan hidup ‘Bapak para Nabi’ ini semudah membalik telapak tangan. Justru kesulitan hidup, cobaan yang luar biasa berat telah membuat gelar ini cocok diberikan pada Ibrahim. Risalah ini bermula ketika Ibrahim yang telah beranjak dewasa mulai mempertanyakan kelakuan ummatnya yang menyembah patung. Sebuah benda tak bernyawa yang dibuat oleh ayahnya sendiri. Pikiran logisnya terusik dengan premis tak terhubung yang selalu disampaikan. Iapun bertanya-tanya, “ jika ia Tuhan, bagaimana ia bisa memberi makan kami? Makan sendiripun ia tidak bisa. Jika ia Tuhan, bagaimana ia bisa membuat manusia, binatang, tumbuhan ini hidup? Sedangkan ia sendiri mati.” Hingga Ibrahim berkesimpulan Patung bukan Tuhan. Lalu Ibrahim bertanya lagi, lantas siapa tuhan? Pertanyaan yang sama  yang disenandungkan oleh filosof-filosof beberapa abad yang lalu. Ibrahim melihat bintang, pikiran logisnya berkata bukan, sinarnya kalah dengan sinar rembulan. Atau mungkin bulan, tapi beberapa hari berselang bulan menghilang sebagian, sampai tidak terlihat sama sekali. Ah, mungkin Matahari, sinar terangnya menghiasi bumi membentuk spektrum keindahan tiada terdua. Tapi ia hanya hidup pagi hingga petang, ia bukan Tuhan... Lalu siapa Tuhan? Hingga akhirnya wahyu Allah hadir menjawab segala kegelisahan Ibrahim dan menghentikan langkahnya dalam pencarian Tuhan. Ya, inilah Tuhan satu-satunya dzat yang Maha Segalanya, supremasi tertinggi dari alam semesta, Dialah yang layak kusembah dan pada-Nya lah aku berserah diri.

Itulah fitrah manusia dan kemerdekaan berfikirnya. Beberapa kisah menceritakan keindahan nikmat yang diberikan Allah dengan kemerdekaan itu, beberapa yang lain mengisahkan sebaliknya. Hari ini, dua fenomena ini saling berhadapan satu sama lain, mencoba mencari jawaban kebenaran yang sesungguhnya. Setiap mata pisau merasa dirinya yang benar. Hingga akhirnya mereka bertemu dalam sebuah peperangan. Bukan peperangan fisik tentunya, tapi sebuah perang ide. Perang argumen yang bisa jadi membuat kebenaran tidak berbeda dari kebathilan. Itulah Ghazwul Fikr.

Perang ini sungguh dekat, bagai pedang yang telah siap menggorok leher dan memisahkan ruh dari kepompong manusianya.  Sayangnya banyak dari kita tidak sadar jika peperangan ini terjadi, hal ini karena sifat dari GF yang membuat orang yang sedang diperangi tidak merasa sedang dalam medan perang. Perang ini disuguhkan dengan sangat apik dengan bungkus buku, lagu-lagu, dan media. Ia tidak menimbulakn korban jiwa, tapi akibat darinya lebih parah. GF menjadikan korbannya pengikut yang turut menyebarkan virus GF ke manusia lain, seperti wabah cacar yang menyebar di seluruh kota.

Satu hal penting lainnya adalah dalam mewujudkan kemerdekaan berfikir kita tetap harus memiliki sudut pandang berdasarkan pemahaman islam yang telah diajarkan. Semoga kita tidak terjerumus dan kalah dalam menghadapi peperangan ide yang sedang terjadi.

1 )Wikipedia.org terjemahan bebas
2)Misykat. Hamid Fahmy Zarkasy. 2012. Hal 4
3) Misykat. Hamid Fahmy Zarkasy. 2012. Hal 4


Senin, 21 September 2015

R A N T A U v.0.3 : Tentang Rantau

"Hidup itu perantauan, mungkin merangkum nya dalam untaian kata adalah hal yang indah." 
Rantau v.0.1

R A N T A U adalah sebuah cerita, bermula dari keinginan sederhana untuk sekedar menumpahkan rasa dan inspirasi. setiap cerita menyimpan makna indah dalam setiap detik yang ada di dalamnya, untuk itulah Rantau aku buat. untuk semua orang yang membaca untaian kisah sederhana ini, terimakasih dan semoga menginspirasi.

semua hal indah maupun pahit adalah sebuah suratan dari Sang Ilahi untuk hamba-Nya. Apa yang Ia berikan adalah yang terbaik dan selalu meyimpan hikmah di tiap titiknya.





Kamis, 10 September 2015

R A N T A U v.0.2 : Kerja Keras

Hari ini mataku kembali terbuka, aku melihat mimpi-mimpi yang dulu pernah aku pikir mustahil mulai muncul dengan wujudnya masing-masing. Aku melihat satu persatu mimpi itu berhasil diwujudkan, tapi oleh orang lain. Kawanku membuktikan semua itu bukan mustahil. Apresio Kevin exchange ke jepang, Alexander Saptian berhasil dengan usaha kecil dan sedang merintis brand barunya, Ardityo Giantra berhasil menyelesaikan hafalannya 30 juz penuh, Irfandi IP 4, Adhika dengan osjur yang revolusioner, dan masing banyak kawan-kawan lainnya. Mereka memang hebat...

Dari kenyataan itu aku melihat melalui satu pandangan baru tentang kemustahilan yang sebenarnya terletak pada pikiran manusia itu sendiri. Tembok yang tidak mungkin dilalui itu ternyata hanyalah hasil ketakutan yang dibuat oleh rasa pengecut manusia. Mereka merasa dirinya terlalu kecil dan tidak bisa melakukan hal besar. “tidak ada mimpi yang terlalu tinggi, yang ada hanyalah usaha yang kurang.”
Satu hal yang menjadi kesamaan di tiap diri mereka yang berhasil, itulah kerja keras. Frasa yang belakangan memudar di lembaran kisah hidupku yang makin menantang. Aku lupa... Ya, mungkin aku lupa tentang kerja keras yang berhasil membuatku menyisihkan 15 orang lainnya yang menginginkan kursi di kampus ganesha. Tentang perjuanganku semasa SMA.

Mungkin hanya sedikit orang yang mengenal SMA dimana aku ditempa. SMA Islam Terpadu Nur Hidayah, di lahan sebesar 1945 m2 itu semua kerja kerasku ditunaikan. Waktu itu aku punya mimpi yang kata orang susah ditunaikan, tiga karakter yang diperebutkan seantero nusantara. ITB. Ya, ITB telah menjadi tujuan besar ku sejak awal kelas 12. Demi mimpi itulah seluruh kerja kerasku aku tumpahkan, meski aku sendiri tidak pernah tahu kenapa harus ITB. Aku belajar di siang dan malam hari, tahajud di sepertiganya, tadarus di waktu selangnya. Semua hal yang selalu aku rindukan dari Khalid yang sekarang.


Kerja keras bukan berarti merasa tersiksa dalam usaha tak masuk akal yang menyusahkan hati orang yang melakukannya. Bukan pula memaksakan satu hal yang tidak diingini untuk terus dikejar. Tapi ia bercerita tentang kisah sepasang kekasih bernama mimpi dan insan manusia. Mimpi itu hanya sedang dikejar dengan semua usaha yang pada dasarnya menjadi hal paling menyenangkan bagi kekasihnya. Mereka yang melakukan satu hal paling disukainya, sepenuh hati, tanpa ada keraguan. Itulah kerja keras. Ya Kerja keras, satu hal yang akan aku ulangi sekali lagi, untuk mimpi-mimpiku selanjutnya...

Jumat, 04 September 2015

R A N T A U v.0.1 : Sebuah Pengantar

     Jumat, 4 September 2015. Beberapa hari yang lalu aku diminta untuk membuat life map, semacam perencanaan hidup yang harapannya merangkum keseluruhan mimpimu dalam satu lembar kertas. Sederhana memang, kamu hanya perlu menuliskan satu dari sekian banyak mimpi yang ingin kau raih di tiap tahunnya hingga ajal mendatangimu. Tugas ini sebenarnya diberikan kepada mahasiswa Fisika Teknik 2014 sebagai bentuk pembelajaran dalam rangkaian kegiatan orientasi jurusan yang sedang mereka jalani. Aku sebagai mentor mereka juga diminta untuk membuat life mapku sendiri, sebelum nantinya aku memberikan tugas yang sama pada peserta osjur.
       Aku mulai membuat life mapku sejak senin malam, tepatnya 1 September 2015. kabar buruknya adalah hingga hari ini seluruh perencanaan itu belum selesai, memang merangkum kisah hidupmu dalam semalam adalah hal yang konyol. Kecuali ketika hatimu telah memantapkan pilihan sejak lama dan sayangnya aku belum melakukan hal itu. Sampai pada akhirnya aku terbenam dalam kebingungan akan masa depan yang akan kuhadapi. Aku mulai merenung...
       Hari ini kebetulan kuliahku selesai sebelum adzan dhuhur berkumandang. Akhirnya aku mendapatkan sedikit waktu untuk merenungkan kembali tentang kisah hidupku selanjutnya. kuputuskan untuk menulis kisah singkat ini...
    Kemarin aku menceritakan kegalauanku pada seorang teman, dzaki namanya. Orang yang sudah kuanggap selangkah lebih maju soal perencanaan hidup. Dia memberi nasihat singkat untuk menonton rekaman pidato Steve Jobs, pendiri Apple .Inc, di Stanford University. Satu hal menarik yang Jobs sampaikan adalah tentang connecting the dots, Jobs bercerita tentang kehidupannya dan segala hal tak terencana dalam hidupnya. Pada akhirnya seluruh kisah itu membuat ia menjadi Jobs yang berdiri tegak dihadapan dunia saat itu. Semalaman aku berusaha mengkorelasikan ide connecting the dots dengan kebingugan yang aku rasakan sekarang. Akhirnya aku menemukannya, connecting the dots yang Jobs bicarakan sebenarnya berbicara pada kita untuk mensyukuri apapun yang telah kita lalui di masa lalu. Namun, ia juga berbicara padaku tentang menentukan dots selanjutnya yang seharusnya bisa aku capai... Lalu kuputuskan untuk mulai menulis kisah ini. Sekedar melihat kebekang titik-titik perjalanan hidup yang pernah aku lalui, untuk melanjutkannya dengan titik-titik kehidupan selanjutnya...


Hidup itu perantauan, mungkin merangkumnya dalam untaian kata adalah hal yang indah. “R A N T A U v.0.1 : Sebuah Pengantar”