Senin, 24 November 2014

Merah-Putih

 "Dari Tsauban radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِي الْأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا وَأُعْطِيتُ الْكَنْزَيْنِ الْأَحْمَرَ وَالْأَبْيَضَ


“Sesungguhnya Allah menggulung bumi untukku sehingga aku bisa melihat timur dan baratnya. Dan sesungguhnya kekuasaan ummatku akan mencapai apa yang telah dinampakkan untukku. Aku diberi dua harta simpanan: Merah dan putih. 

Mencari Wajah Baru Kaderisasi

Senin, 24 November 2014
  
Kaderisasi telah menjadi bagian penting kampus ITB. Ia adalah detak jantung yang memompa semangat kemahasiswaan di seantero ganesha. Ia adalah sepotong episode perjuangan kampus ini. Wajar ketika bahasan mengenai kaderisasi semestinya menjadi topik hangat yang terus dikaji dan dipertanyakan.
                Kaderisasi terus berkembang selajan dengan zaman yang terus bergulir. Di ITB sendiri sejarah kaderisasi bermula dari politik etis yang diterapkan koloni untuk memberikan pribumi pendidikan di THS. Koloni belanda yang juga belajar di THS tidak terima ketika disamakan dengan pribumi, akhirnya dibuatlah mekanisme ‘perpeloncoan’ yang bisa dibilang awal mula kaderisasi di ITB. Hal ini berlanjut dengan mengakarnya budaya kadirisasi di kampus ganesha. Bisa dibilang pada kurun waktu tersebut kaderisasi berupa ‘perpeloncoan’ dipakai untuk penyamarataan pribumi-kolonial.
                Zaman pun bergulir dan kaderisasi mulai menemukan wajah barunya. Tahun 1977 Mahasiswa diwakilkan oleh DeMa (Dewan Mahasiswa) ITB  menolak pengangkatan Soeharto menjadi presiden kembali oleh MPR. Akhirnya tulisan “Kami Mahasiswa Menolak Pencalonan Soeharto Sebagai Presiden Republik Indonesia” di depan ITB memaksa Soeharto menurunkan pasukan untuk menyerbu ITB. Puncaknya di tahun tersebut, ITB diserbu pasukan seroja atas perintah Soeharto dan pemimpin-pemimpin kampus seperti Heri Akhmadi (Ketua DeMa) dan Rizal Ramli (Caretaker Ketua DeMa) dipenjara. Satu tahun ITB dikuasai militer dan kegiatan belajar-mengajar dihentikan, mahasiswa dijemur dan disuruh push-up dan sit-up berantai di lapangan basket. Akhirnya setelah masa-masa sakit terlewati. Untuk normalisasi kampus Soeharto menerapkan strategi pengawasan melalui badan koordinasi kegiatan kampus NKK/BKK yang membatasi kegiatan masiswa. Untuk itu mahasiswa yang memiliki otak cerdas dan pemikiran yang matang, demokratis, ilmiah harus dibekali dengan kekuatan mental dan fisik serta memiliki kesetiakawanan, kekompakan, kebersamaan, solidaritas dan militansi untuk memperjuangkan kebenaran. Akhirnya dipilihlan kekompakan dan militansi pasukan NAZI jerman serta kritisisme, militansi dan kebersamaan kaum Komunis sebagai dasar pembentukan pribadi mahasiswa. Namun tidak melupakan dasar kebangsaan Indonesia yang nasonalis. Ramuan ini merupakan bahan kaderisasi yang akan digunakan untuk menyiapkan mahasiswa-mahasiswa agar "matang'" dalam menghadapi Soeharto beserta pasukan-pasukannya. Materi kaderisasi model ini ditanamkan dalam OSPEK-OSPEK di ITB. Singkatnya pada waktu itu mental, fisik, dan kekompakan ditetapkan sebagai satu tujuan utama kaderisasi untuk merobohkan hagemoni tiran Soeharto.

                Hari ini Senin, 24 November 2014 zaman pun telah berubah. Dan sekali lagi kaderisasi mulai mencari wajah barunya kembali untuk menjawab tantangan baru yang dihadapkan di depan gerbang kemahasiswaan. Tantangan baru itu berupa persaingan antar bangsa berupa AEC yang sudah di depan mata. Dengan adanya AEC kaderisasi mulai dituntut untuk lebih berkonsentrasi pada penguatan sektor penunjang keprofesian. Selain itu untuk menjawab tantangan lainnya berupa kemiskinan dan kondisi masyarakat Indonesia menengah ke bawah, kaderisasi juga dituntut untuk juga berkonsentrasi pada kontribusi real di kehidupan masyarakat. Sayangnya belum ada bentuk konkrit hingga ke tataran teknis pelaksanaan yang dapat menjembatani kedua tujuan mulia kaderisasi wajah baru ini. 

Minggu, 22 Juni 2014

Satu Nyawa Berjuta Karya, Mahasiswa

   “Bakti kami untukmu Tuhan, Bangsa, dan Almamater, ” salam yang begitu nyaring diperdengarkan di Kampusku ini mengigatkanku akan gejolak semangat para pemuda, semangat milik Mahasiswa ’98 saat menggulingkan rezim Orde Baru, semangat para pemuda saat menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok untuk menyegerakan Proklamasi, juga semangat yang digelorakan Bung Tomo di Surabaya. Mungkin benar di negri ini sudah tidak ada lagi perang, tidak ada lagi rezim tirani. Namun semangat mahasiswa tidak akan pernah reda untuk mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya.

          Kenapa harus mahasiswa? Karena kita memiliki 3 potensi : hard skill, soft skill, dan idealisme. Dari ketiga potensi tersebut, Idealisme menjadi ciri utama mahasiswa. Ayah-ayah kita di parlemen, kementrian, dan pemerintahan memiliki hard skill dan soft skill yang memadai, tetapi sebagian dari mereka tidak memiliki idealisme. Kakak-kakak kita yang bekerja di multinational coorporate –yang tidak mempedulikan nasib bangsanya- memiliki hard skill dan soft skill yang lebih dari cukup, tapi idealisme? Contoh sederhananya ketika kita lulus dari kampus, mana yang kita pilih : bergabung dengan perusahaan asing dengan penghasilan 20-30 jt per bulan atau bergabung dengan dengan BUMN dengan gaji 4-7 juta per bulan. Atau mana yang kita pilih : produk asing dengan kualitas terbaik dan murah atau produk lokal dengan kualitas standar dan lebih mahal. Kata kuncinya adalah Idealisme. Mahasiswa = Idealisme. Maka saat mahasiswa negri ini telah menggadaikan idealismenya, tunggulah kehancuran negri. Kita sebagai mahasiwa haruslah menanamkan idealisme kuat di lubuk hati kita dan menjaganya hingga ajal menjemput kita.

         Pertanyaan terbesarnya adalah apa yang bisa kita lakukan untuk negri ini? Dimana peran kita? Apakah dengan demo? Atau bahkan kita perlu revolusi kedua untuk menyadarkan ayah-ayah kita? Mahasiswa di setiap era dibenturkan pada masalah-masalah yang hanya bisa deiselesaikan oleh mereka sendiri. Tahun-tahun kemerdekaan mahasiswa (pemuda) dihadapkan pada problem mengusir penjajah dari tanah nusantara. Pasca kemerdekaan, mereka berbondong-bondong menyelamatkan negri ini dari penjajahan kembali. Tahun orde baru, mereka diterkam oleh ganasnya rezim tiran yang mengekang kebebasan hidup. Saat ini, era reformasi, kita tidak lagi ditemukan dengan masalah-masalah yang sama. Masalah yang kita hadapi saat ini adalah ketidakmerataan kesejahteraan, isu-isu perpecahan antar iman, masalah-masalah integritas dan korupsi, dan masih banyak lagi. Masalah-masalah yang multidimensional ini tidak lagi dapat diselesaikan dengan perang, demo, revolusi. Tapi masalah ini akan selesai dengan mahasiswa sebagai turun langsung ke masyarakat dan mahasiswa sebagai orang yang punya keahlian khusus di bidangnya.


        Terakhir, jadilah mahasiswa itu. Mahasiswa yang tidak tinggal diam sengan kebobrokan bangsa ini. Jadilah mahasiswa yang memiliki nilai lebih dengan karya yang membanggakan bumi dan mengharum di langit. Ya jadilah mahasiswa seutuhnya, satu nyawa berjuta karya. Untuk kemerdekaan sesungguhnya.


ASEAN Community - Tantangan Eksistensi Bangsa di Asia Tenggara

2015 semakin dekat, siap ataupun tidak, kita harus menghadapi ASEAN Community yang akan dimulai tahun itu. Kesepakatan multilateral antar negara se-asia tenggara itu bagaikan dua mata pisau bagi bangsa ini. Di satu sisi peluang untuk memajukan bangsa lebih terbuka lebar. Namun, peluang untuk menjadi negara yang semakin dilupakan juga menghadang ketika kita tidak siap menghadapi hal ini.

Awalnya kesepakatan ini dibuat untuk mencapai tujuan yang sangat mulia, memajukan asia tenggara. Kita gak mau dong, ketinggalan dengan Cina dan India.

Nah, untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan langkah-langkah konkrit yang harus dilakukan. Langkah pertamanya adalah 'peace' atau keamanan. Artinya sebelum menjadi suatu komunitas kita harus menjamin keamanan anggota-anggotanya terlebih dahulu. Jangan sampai ada sengketa antar anggota. Langkah berikutnya adalah 'posperity' atau kesejahteraan dimana setidaknya ketimpangan kesejahteraan diantara negara-negara ASEAN tidak terlalu besar. Langkah terakhir adalah 'people'. artinya semua kerjasama ini bergantung pada orang-orang yang berada di dalamnya.


Pertanyaan terbesarnya adalah siapkah bangsa ini menghadapi ASEAN Community?