Minggu, 22 Juni 2014

Bergerak atau Mati

   Tahun 1978 mahasiswa kampus ini mampu membuktikan eksistensi dirinya melalui ‘ Buku Putih Perjuangan ’ yang sempat membuat rezim tirani Soeharto geram. Akibatnya kegiatan kemahasiswaan terpusat bernama “Dewan Mahasiswa” atau Dema dibubarkan. Bahkan kegiatan perkuliahan sempat di bekukan selama 6 bulan, dangan didudukinya kampus oleh ABRI . Hanya mahasiswa angkatan 78 yang diperbolehkan kuliah. Sama halnya dengan mahasiswa ITB pada tahun 98, mereka turut berpesan aktif dalam melengserkan Soeharto meski dengan gerakan mahasiswa ‘bawah tanah’.

       Lalu bagaimana dengan Mahasiswa ITB 2013? Gerakan apa yang kita lakukan? Apakah kita perlu menduduki gedung DPR lagi untuk kedua kalinya? Atau melengserkan presiden selanjutnya?
Jawabannya ada pada diri kita, Mahasiswa. Gerakan mahasiswa memiliki bentuk dan karakteristiknya di tiap zaman. Pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, Orde Baru, dan masa reformasi. Zaman reformasi kini, kita memiliki bentuk yang berbeda. Bukan waktunya lagi kita mengguncang pagar DPR dan meneriakkan kebebasan berpendapat, karena kita sudah bebas. Tidak tepat pula jika kita memaksa presiden untuk lenser dari jabatannya, karena ia juga akan lengser dangan sendirinya. Gerakan mahasiswa kita kini akan berdasarkan pada perubahan-perubahan kecil yang sukarela dikerjakan oleh semua elemen mahasiswa untuk masyarakat. Mungkin hanya kampanye kecil tentang kebersihan, atau sekedar berkeliling pawai meneriakkan ‘no smoking’. Bahkan bisa jadi hal-hal sepele lainnya yang kecil namun dilakukan uleh semua orang. 
      

     Jadi, bukan saatnya lagi untuk mempertanyakan identitas kita sebagai mahasiswa, ini saatnya untuk kita berubah, menjadi penggerak kemajuan peradaban bangsa ini. Menuju bangsa yang mendiri, adil dan sejahtera. Karena saat mahasiswa tidak mau bergerak, saat itulah indonesia kehilangan harapannya akan masa depan yang lebih baik. Pilihan mahasiswa hanya dua : bergerak atau mati!

Sebuah Pilihan, Sebuah Jalan

            Kata orang hidup itu pilihan. Artinya untuk hidup yang lebih baik, kita butuh pilihan yang terbaik. Untuk mendapatkan pilihan terbaik, muncul berbagai kriteria, parameter, bahkan standar untuk memilih sebuah pilihan. Karena kriteria, parameter, atau standar tersebut hadir pertanyaan-pertanyaan saat kita ingin memilih. Contohnya saat di SMA. Kita diminta untuk memilih pilihan yang menentukan kelangsungan hidup kita kedepannya. “Mau kuliah dimana dik? Jurusan apa” atau “Mau ngambil jurusan apa dik? Dimana?” muncul pertanyaan pertama nentuin jurusan dulu atau universitas dulu? Disambut dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Selalu begitu, saat hendak memilih, pertanyaan-pertanyaan muncul. Semakin besar pilihannya, semakin sulit pertanyaan yang muncul. Bahkan terkadang pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab atau dari seekian pertanyaan yang terjawab, kita tidak mengarah pada satu penyelesaian masalah. Semua itu karena kita dipusingkan dengan soalan ‘memilih yang terbaik’.

            Saat memilih prodi teknik fisika aku tidak terlalu dipusingkan dengan pertanyaan-pertanyaan. Karena aku bukan orang yang terlalu mempertimbangkan setiap keputusan. Aku tidak banyak menggunakan parameter-parameter yang bisa digunakan dalam menentukan program studi. Prospek kerja, mata kuliah, kemungkinan lulus berapa tahun. Semua tidak aku pikirkan. Karena yang terpikir olehku hanya sesederhana ini : aku suka fisika, tapi kalau itu berarti hanya memutar-mutar rumas aku tidak selera. Maka aku cari fisika yang di’tikniki’in. Ketemu deh tu teknik fisika.


            Hikmahnya aku jadi sadar, kalau hidaup itu bukan cuma soal menentukan pilihan terbaik. Bukan hanya soalah ‘memilih yang terbaik’. Tapi juga bagaimana menjalani pilihan-pilihan yang kita ambil meski itu bukan yang terbaik. Pesanku untuk kalian yang tidak menaruh pilihan ini (baca : FT) di pilihan pertama, percayalah skenario Allah adalah skenario terbaik. Meski bukan pilihan yang sangat kalian inginkan, tapi jalanilah dan senangilah jalan baru ini.

Tahun Pertama

Langkah pertamaku di kamppus ini adalah langkah terindah. Langkah yang konyol, bodoh dan serampangan. Tapi bukan berarti tanpa makna. Karena setiap peristiwa punya pesan yang untuk disampaikan. Pesan terindah dari Sang Pencipta untuk hamba tercinta-Nya. Terkadang ia hadir dalam semerbak aroma kebahagiaan, tak jarang pula dalam kesedihan dan putus asa. Tapi tak mengapa. Karena yang terpenting adalah sikap kita. Sikap yang tak kenal lelah untuk belajar. Entah apapun itu yang menghadang kita siap untuk melaluinya. Jika itu gunung, maka itu tak cukup tinggi untuk pembelajar. Jika itu laut, maka laut manapun tidak cukup dalam baginya. Walau sesulit apapun, tak jadi masalah.

Tahun pertamaku aku lalui dalam canda. Tapi terkadang rasa sesal juga menyapa. Lalu kata ‘seandainya’ sering mengapung di kepalaku menggantikan kata ‘kuat dan semangat’. Ya, itulah penyesalan. Penyesalan pertamaku hadir saat aku ‘menolak’ beasiswa kuliah di luar negri dengan tidak hadir tes wawancara. Waktu itu yang terlintas hanyalah, “ya sidahlah kan udah dapet ITB.” Lalu penyesalan itu hadir ketika mereka satu persatu lolos beasiswa tersebut dan berangkat ke luar negri.  Akupun mencari pembenaran. Sayangnya, setiap pembenaran yang muncul hanya akan bertahan paling lama satu minggu. Masalah bertambah, dan hadir penyesalan-penyesalan baru : gak belajar serius, kurang PeDe, setengah-setengah, dan sederet permasalahan lain yang belum terselesaikan.


Lalu di akhir tahun ini aku mendapat jawabnya. Bukan pembenaran yang aku butuhkan untuk membuatku ikhlas menerima setiap takdir yang diberikannya. Tapi sifat percaya. Percaya bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan sesuai kemampuan hambanya. Percaya bahwa skenario-Nya adalah skenario terbaik untukku. Percaya bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Percaya pada Allah.

Jumat, 16 Mei 2014

Saat Kita Saling Percaya

Seminggu yang lalu aku yang lugu terkecoh oleh tipuan picisan abang-abang pinggir jalan. waktu itu, malam hari sekitar jam 9. Setengah hati aku berjalan pulang dari kampus ke asramaku di Sangkuriang. Lalu, didepan pom bensin dago ada abang-abang minta tolong, katanya kehabisan duit gitu. Yaudah deh ak tolongin tuh abang-abang. e...singkat cerita habis aku pinjemin duit, si abang minta tukeran HP. Biar saling percaya gitu. 'Okelah, gk papa' pikirku. Habis sampai asrama aku baru sadar, betapa bodohnya aku tadi, mau-mau aja suruh tuker HP sama orang yang gak jelas asal usulnya. Ya udah deh, nasi telah menjadi bubur -walaupun bubur juga enak- aku ikhlasin aja tuh Hp buat si abang. Semoga aja gak digunain buat yang aneh-aneh.

Jujur aku menyesal setelah kejadian itu, bukan karena Hpku udah gk ada, justru yang kutakutin adalah sesama manusia gak saling percaya lagi. Paling ringan kita jadi pikir-pikir dulu sebelum ngasih orang, atau malah setelah jadi korban gak mau nolong orang sama sekali. Hilang deh kepercayaan sesama kita.

Aku jadi teringat kisah Abu Dzar Al-Ghifari dan seorang pembunuh yang siap dihukum mati.

Seorang pembunuh terlihat pasrah menyongsong hukuman mati yang akan menimpanya. Sebelum eksekusi, sang hakim bertanya kepada si terdakwa,
“Apakah permintaan terakhirmu?”
“Bila mungkin, aku mohon diijinkan pulang ke kampung selama 3 hari,” jawabnya dengan kepala tertunduk.
“Aku ingin pamit dan menyelesaikan amanah dan hutang yang aku pikul dengan beberapa orang,” lanjutnya.
Mendengar itu, sang hakim menarik nafas panjang dan berkata,
“Permintaanmu bisa kukabulkan, asal ada seseorang yang menjaminkan diri untukmu. Bila engkau tidak kembali, maka diri penjaminlah yang dihukum mati.”
Suasana menjadi sepi. Massa yang berkumpul di lapangan terdiam. Tidak ada seorang pun yang berani mengambil resiko tersebut.
Di tengah kebisuan, tiba-tiba maju seorang sahabat Nabi yang sangat terkenal. Ia adalah salah seorang sahabat yang dijamin masuk syurga. Abu Dzar Al-Ghifari. Ia rela menjadi penjamin si pembunuh.
Tiga hari telah berlalu. Batas akhireksekusi tinggal menunggu menit. Banyak khalayak mulai gelisah, bahkan menangis. Sebab Abu Dzar akan dieksekusi menggantikan si pembunuh.
Di tengah-tengah kekuatiran dan kesedihan tersebut, nampaklah sipembunuh dengan susah payah berlari-lari menuju tempat eksekusi.
“Maaf, aku terlambat, karena ada sedikit halangan halangan di jalan,” terangnya dengan nafas masih tersengal-sengal.
Mendengar itu, sang hakim sangat heran dan bertanya,
“Wahai terdakwa, mengapa engkau mau kembali lagi memenuhi hukumanmu?
Bukankah engkau dapat saja melarikan diri?”
“Pak Hakim, bisa saja saya melarikan diri dari hukuman ini. Namun bagaimana saya hendak lari dari hukuman Allah .” jawabnya dengan tegas.
“Yang tidak kalah pentingnya Pak Hakim, ini soal harga diri Islam dan seorang muslim. Saya tidak mau ada catatan sejarah bahwa pernah ada seorang muslim yang lari dari tanggungjawab serta mengkhianati kepercayaan orang yang telah menolongnya ,”
pungkas si pembunuh.
Belum hilang takjub sang hakim mendengar jawaban tersebut, terdengar suara dari perwakilan keluarga korban.
“Pak Hakim, tolong bebaskan si terdakwa ini. Kami telah memaafkannya,” pintamereka.
“Pak Hakim, ini soal harga diri Islam dan seorang muslim. Kami tidak ingin tercatat dalam sejarah, ada seorang muslim yang tidak memaafkan kesalahan saudaranya yang Muslim . Apalagi, dia membunuh bukan karena disengaja,” lanjut mereka.
Sang Hakim diam seribu bahasa diliputi rasa heran sekaligus haru. Ia pun kemudian memerintahkan untuk membebaskan si pembunuh. Namun sebelum sidang dibubarkan, sang hakim sempat bertanya kepada Abu Dzar.
“Wahai Abu Dzar, tolong jelaskan mengapa engkau berani mengorbankan diri untuk menjamin pembunuh ini?
Bukankah dia bukan keluargamu? Bahkan, dia tidak engkau kenal sama sekali?”
Dengan enggan Abu Dzar menjawab, “Pak hakim, ini soal harga diri Islam dan seorang Muslim. Aku tidak ingin ada catatan dalam sejarah, bahwa pernah suatu saat ada kejadian seorang muslim tidak mau menolong saudaranya yang sedang butuh pertolongan .”
Allahu Akbar..!!

https://www.facebook.com/FanpageDakwahIslam/posts/242275635871867 

Saat kita saling percaya, tak ada karang yang mampu mengahadang
Saat kita saling percaya, bukan hanya senyum yang terkembang, tapi canda dan kasih mesra
Saat kita saling percaya, padang mahsyar tak lagi terik oleh surya sejengkal
Saat kita saling percaya, saat itulah ridho Allah menyapa